Wednesday, May 9, 2012

Antri KTP atau antri BLT?

Beberapa hari yang lalu saya melakukan perpanjangan KTP. Sebagai warga yang baik, dan karena malas kalau harus membayar denda keterlambatan, saya sengaja mengurus perpanjangan sebelum masa kadaluarsa KTP saya. Saya meminta surat pengantar dari RT ke RW, ke Kelurahan, kemudian ke Kecamatan. Awalnya saya kira begitu sampai kecamatan saya akan langsung foto dan selesai sudah urusan saya memperpanjang KTP. Tapi ternyata sekarang ada aturan baru, perpanjangan KTP terpusat di Kantor Catatan Sipil.

Tiga hari kemudian saya pun pergi ke kantor catatan sipil. Karena tidak tahu persis lokasinya, saya pun bertanya ke beberapa teman dan orang-orang yang saya temui di jalan. Dan mereka banyak yang balik bertanya, "Mau apa ke sana?Mau kawin lo?", ada lagi yang bertanya "Siapa yang mau cerai neng?"
Ya ampun, saya cuma mau mengurus KTP kok..hmm sepertinya banyak yg belum tau aturan baru itu..

Akhirnya setelah berhasil menemukan lokasi kantor catatan sipil, saya masuk dan kaget karena suasana di sana sangatlah ramai, seperti orang antri BLT, padahal waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi. Berdasarkan informasi yang saya dapat tempat itu bahkan sudah ramai sejak pukul 7. Kalau ramai tapi antri dengan tertib sih tidak masalah bagi saya, tapi antrian di sana sangatlah kacau, seperti saat sedang menaiki Commuter line di jam orang berangkat dan pulang kantor, berdesakkan dan peluh bercucuran. Bagaimana tidak kacau?hanya tersedia 2 loket untuk menampung 6 kecamatan di 1 kota. Dan hanya ada 1 petugas di tiap loket, yang menulis berkas dengan lambat, dan memanggil nama warga untuk pemberian tanda terima pengambilan KTP dengan bisikan pelan, tidak pakai speaker..fiuhh... Seorang nenek dengan tongkatnya pun memilih menjauhi kerumunan antrian dan duduk di pojokan, sementara seorang kakek tetap berada dalam 'antrian' dan tampak begitu kelelahan. Yang lebih muda ribut dan mengeluhkan 'antrian' yang sangat kacau itu. Untung cuaca mendung, udara pun jadi tidak terlalu panas.

Akhirnya setelah berdesak-desakan sekitar 2 jam lamanya, saya mendengar bisikan si pak petugas memanggil nama saya. Setelah foto dan mengantri lagi di loket pengambilan KTP, pukul 1.30 siang jadilah KTP baru saya.

Setelah perjuangan beberapa jam, yang berubah dari KTP lama hanyalah foto, tanda tangan tempat diterbitkannya KTP (tadinya atas nama camat menjadi atas nama kantor catatan sipil), tahun kadaluarsa, dan tulisan Propinsi yang akhirnya sesuai EYD menjadi Provinsi. 

Bagaimana nanti ya kalau sudah harus mengurus e-KTP? semoga saya tidak harus berdesak-desakkan lagi..



Tuesday, May 8, 2012

Refleksi 22 tahun

Yesterday is a history, tomorrow is a mystery, and today is a gift, that's why its called 'present'~Kungfu Panda

Kutipan di atas adalah salah satu kutipan yang paling saya suka. Masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri, tapi hari ini adalah anugrah. Anugrah yang sepatutnya selalu kita syukuri.

Masa lalu adalah sejarah..
Banyak orang yang gagal hari ini sibuk menyalahkan hari kemarin atau masa lalunya. Padahal masa lalu diratapi dan disesali bagaimanapun tidak akan berubah, karna masa lalu, bahkan kejadian yang terjadi 1 detik yang lalu adalah sejarah yang tidak bisa diubah.
Mungkin banyak yang berpikir alangkah senangnya memiliki pintu kemana saja seperti di anime dan manga doraemon. Dengan memiliki pintu kemana saja dengan mudahnya orang bisa mengubah masa lalu atau datang melihat masa depan. Dengan pintu kemana saja setiap ada kesalahan manusia bisa kembali ke masa lalu dan mengubahnya, tapi bukankah dengan begitu manusia tidak akan maju?dan tidak akan berani menghadapi masa depan?bukankah wajar manusia membuat kesalahan?bukankah dari kesalahan itulah manusia belajar?

Masa depan adalah misteri..
Disebut misteri karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Meskipun ada orang-orang tertentu yang katanya bisa melihat masa depan, apakah mereka benar-benar yakin 100% dengan masa depan yang mereka lihat. Banyak orang yang demi mengetahui masa depannya mengunjungi peramal dan semacamnya. Tapi, seperti menonton film, bukankah lebih menarik jika kita belum mengetahui seperti apa 'ending'-nya?

Hari ini adalah anugrah..
Ya, hari ini adalah anugrah. Setiap detik yang kita lewati adalah anugrah. Bukankah setiap detiknya kita diberi anugrah berupa oksigen dari Sang Pencipta?
22 tahun sudah saya mendapat anugrah dari Sang Pencipta. Mulai dari kandungan, lahir ke dunia, hingga saat ini.

Terima kasih Allah atas semua anugrah yang Kau berikan
Terima kasih untuk Mommy yang telah melahirkan saya 22 tahun yang lalu ke dunia.
Terima kasih untuk semua orang yang telah hadir dalam hidup saya, bagaimanapun kalian telah mengukir sejarah dalam hidup saya



Wednesday, April 18, 2012

Tana Toraja, Tanahnya para Raja

Desember 2011, saya berkesempatan untuk mengunjungi Tana Toraja, sebuah daerah yang penduduknya masih memegang teguh budayanya. Tana Toraja sendiri berarti tanah milik para raja. Untuk mencapai Tana Toraja, dapat menggunakan jalan darat dengan menaiki mobil ataupun bis, namun bagi mereka yang tidak terlalu suka perjalanan darat yang memakan waktu, ada pesawat kecil yang tebang dari Makassar langsung ke Toraja. Saya sendiri bersama rombongan lainnya memilih menggunakan transportasi darat. Memang melelahkan dan memakan waktu, tapi itulah seninya :D

Perjalanan yang panjang, playlist mp3 pun sudah beberapa kali berulang, saya dan rombongan mampir di salah satu rumah makan di pinggir jalan yang menyajikan makanan serba ikan. Sebenarnya  rasa makanannya tidak istimewa, ikannya pun gosong karena terlalu lama dimasak, namun karena perut sudah lapar semua makanan yang dipesan ludes seketika. Satu hal yang unik di rumah makan ini adalah sambalnya. Unik karena biasanya saya membayangkan sambal itu berwarna merah cabai, atau hijau seperti sambalado ijo khas padang, tetapi sambal yang disajikan di rumah makan ini berwarna cokelat karena  terbuat dari kacang. Rasanya seperti makan ikan tapi dengan bumbu pecel. Saat kami memesan sayur pun si pelayan rumah makan mengatakan hanya ada sayur bening. Mendengar sayur bening, saya langsung terbayang sayur bayam, ternyata yang disajikan berupa kuah santan hambar dengan irisan daun bawang.

Sambal kacang yang disajikan bersama ikan bakar
Setelah perut terisi, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Toraja, saat sampai di Enrekang, kami pun mampir untuk menghirup udara segar di salah satu warung kopi sambil berfoto dan menikmati pemandangan gunung nona. Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di tempat tujuan: Tana Toraja.

Sesampainya di gerbang, saya tertarik melihat sebuah tulisan
"Misa' kada dipotuo pantan kada dipomate"
yang menurut hasil searching si mbah Google kurang lebih artinya "bersatu kita teguh bercerai kita mati"


Toraja adalah wilayah yang penduduknya mayoritas memiliki kepercayaan agama leluhur toraja, dan sebagian besar yang lain memiliki kepercayaan agama kristen, yang dipegang teguh penduduknya, bahkan dalam kamar hotel pun terdapat kitab Injil, belum pernah rasanya saya melihat ada kitab yang disediakan pengelola hotel di masing-masing kamar.

Kios Bakso Babi dan warung makan halal yang berdampingan
Karena hari mulai gelap, dan perut kembali bergejolak, kami pun mencoba mencari rumah makan. Sebenarnya banyak rumah makan di sekitar hotel, namun mayoritas tidak halal, sehingga kami tidak punya banyak pilihan, begitu menemukan rumah makan yang ada kata muslimnya, kami langsung masuk ke sana. O iya, bagi yang muslim pun sebaiknya jangan sembarangan membeli baso di pinggir jalan, karena dapat dipastikan itu adalah baso babi.

Esok harinya, kami memulai perjalanan menjelajah Toraja dan mengunjungi gua atau gunung batu yang merupakan makam penduduk Toraja, sekaligus objek utama yang dikunjungi wisatawan termasuk saya dan rombongan.


Di perjalanan menuju gua, kami melihat banyak rumah adat khas toraja atau tongkonan yang berjejer dengan indah dan apik. Tongkonan adalah rumah sekaligus tempat tinggal bagi mayat yang 'belum mati'. Masyarakat Toraja percaya bahwa seseorang yang meninggal belum benar-benar meninggal jika belum diadakan upacara adat. Anggota keluarga yang belum benar-benar meninggal itu tinggal bersama dengan keluarganya yang lain, selayaknya anggota yang belum meninggal. Selain tongkonan ada juga lumbung padi yang memiliki bentuk yang mirip dengan tongkonan. Perbedaan yang saya lihat adalah ukiran di tongkonan lebih banyak dan tongkonan dihiasi oleh tanduk-tanduk kerbau, yang jumlahnya menandakan status sosial masyarakat.



Di gerbang gua batu, tempat meletakkan mayat yang sudah diupacarakan, terlihat peti-peti mati dengan berbagai bentuk, ada yang berbentuk seperti rumah adat toraja, ada yang bentuknya menyerupai kerbau dan babi, ada pula yang berbentuk seperti peti mayat umat kristiani lengkap dengan lambang salib. Peti mayat berbentuk rumah adat menandakan kebangsawanan, sedangkan peti kerbau dan babi masing-msing merupakan peti untuk mayat laki-laki dan perempuan. Peti mayat tersebut diletakkan begitu saja di dalam dan dipinggir gua batu, tidak dikubur. Sebagian peti masih baru  dan sebagian besar sudah lapuk dimakan usia hingga tengkorak dan tulang belulang berserakan. Selain peti mati dan tengkorak yang berserakan, di dinding-dinding gua diletakkan tao-tao atau boneka yang merefleksikan orang yang 'dikuburkan' di sana.

Tao-tao jaman dahulu, yang terlihat lebih mirip satu sama lain
Menurut salah satu pembuat boneka, tao-tao yang dibuat sekarang ini lebih bagus dan lebih mirip dengan aslinya, karena kini ada foto yang membuat pengerjaan tao-tao dapat lebih mudah dan bisa dibuat semirip mungkin dengan aslinya.


Di dalam gua selain semakin banyak tulang belulang berserakan, juga banyak sampah botol bekas minuman kemasan, juga sisa makanan. Awalnya saya kira itu perbuatan wisatawan yang seenaknya membuang sampah sembarangan, ternyata kata salah seorang penduduk yang saya temui di sana itu adalah sisa-sisa sesajen. Mungkin tidak ya?sesajen menggunakan kemasan yang tidak mencemari lingkungan?




Langit sudah kembali gelap, Kete kesu, Lemo, Londa, pun sudah selesai kami kunjungi, saatnya kembali pulang.






Wednesday, March 21, 2012

29 Februari

29 Februari tahun ini istimewa bagi saya.
Istimewa bukan hanya karena hari kabisat, yang hanya terjadi empat atau delapan tahun sekali, tapi karena bertepatan dengan tanggal saya wisuda :D


Saat acara gladi resik, sehari sebelum wisuda, saya bersama para wisudawan lainnya berlatih hymne ipb bersama Prof Utomo. Saya jadi ingat dulu saat TPB saya diajar mk pengantar ilmu pertanian oleh beliau. Ada ritual wajib sebelum akhir kuliah bersama beliau yaitu bernyanyi. Sebelum berakhir kuliah kami selalu bernyanyi bersama ala paduan suara. Lagu yang paling sering kami nyanyikan adalah padi tumbuk.
"ayo padi ditumbuk dijadikan beras..."
Beberapa dari kami bahkan merekam nyanyian tersebut, sayangnya rekaman milik saya hilang bersama dengan hp saya yang rusak :(

Kalau dipikirkan ternyata tak terasa waktu terus berjalan mengukir berbagai peristiwa yang kemudian menjadi kenangan. Kenangan yang mungkin indah mungkin juga pahit. Kenangan yang membuat tersenyum, senyum bahagia, juga senyum karena merasa lucu atas hal2 bodoh yang pernah saya lakukan.

Ibarat menaiki kereta, saat ini saya telah sampai di stasiun akhir dalam perjalanan saya menuju sarjana.
Kini waktunya saya melanjutkan perjalanan menuju masa depan.
Perjalanan yang membuat saya merasa cemas.
Cemas karena saya tidak tahu akan seberapa lama perjalanan ini?
Cemas karena saya tidak tahu akankah stasiun tujuan nanti sesuai dengan bayangan?

Yang jelas perjalanan saya sepertinya masih panjang