Tetralogi Pulau Buru merupakan salah satu novel Indonesia paling terkenal. Penulisnya, Pramoedya Ananta Toer bahkan hampir mendapatkan nobel dari karyanya yang kaya isi ini. Tetralogi ini terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tiga buku pertama ditulis dari sudut pandang Raden Mas Minke, seorang anak dari Bupati Bojonegoro, sedangkan buku keempat ditulis dari sudut Pangemanann dengan dua huruf n.
Raden Mas Minke memiliki nama asli T.A.S (alias Tirto Adi Suryo yang didaulat sebagai bapak pers nasional). Minke sendiri merupakan pelesetan dari kata Monkey. Roman ini menceritakan bagaimana Minke bertemu dan belajar dari banyak orang, ia belajar dari Nyai Ontosoroh, yang merupakan gundiknya Tuan Millema. Nyai Ontosoroh yang dipicu oleh amarah karena 'dijual' oleh ayahnya di masa sangat belia berhasil menunjukkan bahwa wanita jawa bukan hanya sekedar hiasan dan pemuas nafsu pria belaka. Minke pun jatuh cinta dengan anak Nyai Ontosoroh, Annalies Millema, si bunga akhir zaman. Kisah romansa yang berakhir dengan kepedihan, karena Annalies 'dipaksa' pergi ke Belanda dan akhirnya menutup ajalnya di sana.
Berpisah dengan Annalies Minke pindah ke Betawi untuk sekolah kedokteran, saat mulai bersekolah ia diminta untuk melepas sepatu yang katanya adalah pakaian Eropa! Dokter Jawa tidak diperkenankan memakai sepatu. Saat bersekolah itu pula Minke bertemu dengan seorang keturunan tionghoa bernama Ang San Mei, yang kurus kering dan merupakan seorang imigran gelap. Minke sendiri tidak yakin bahwa Ang San Mei adalah nama aslinya, tapi ia tetap menikahinya. Lagi-lagi Minke harus berpisah dengan wanita kekasihnya. Ang San Mei meninggal dalam sakit dan berpesan agar Minke menjadi dokter. Namun, pada akhirnya Minke berhenti dari sekolah kedokteran dan mulai menerbitkan koran Medan.
Medan menjadi terkenal karena Medan merupakan koran pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Keputusan Minke memilih melayu banyak dipertanyakan. Tapi Minke tetap yakin, karena Hindia bukan hanya Jawa katanya. Medan yang semakin berkembang diiringi pula dengan perkembangan organisasi, Minke pun turut mendirikan Syarikat, dan menikah lagi dengan Prinses Kasiruta. Seorang wanita yang ternyata berani menarik pelatuk ke arah musuh-musuh Minke.
Gerakan Minke yang kelewat berani membuat Gubermen memerintahkan Pangemanan (yang setelah belajar di Prancis menambahkan satu huruf n di belakang namanya, agar dapat diucapkan dengan mudah oleh orang-orang Prancis) untuk menangkap Minke. Pangemanann terkejut dengan perintah itu, ia sendiri adalah penganggum Minke, tapi ia lebih takut kehilangan kedudukan. Jadi lah ia si pengkhianat hati nuraninya sendiri.
Namun, setelah ditangkapnya Minke, Pangemanann terus dihadapi orang-orang yang menimbulkan gejolak pada gubermen, seperti Siti Soendari. Seorang wanita yang dibesarkan oleh ayahandanya seorang, berjuang dengan caranya sendiri, dan hampir-hampir berakhir nasibnya seperti si gadis Jepara.
Setelah Minke kembali dari tempat pembuangannya di Ambon, Pangemanann tetap bertugas mengawasinya bahkan sampai akhir hayatnya. Pangemanann menjadi saksi bagaimana sang guru tetap terpenjara dalam kemerdekaannya. Tapi Minke juga lah yang menyadarkannya kalau batinnya sendiri yang terpenjara karena ia lebih memilih menyelamatkan jabatannya daripada tanah airnya.
Tetralogi ini merupakan salah satu roman sejarah yang paling menggugah. Roman ini juga mengajarkan banyak hal, dari sini kita belajar bahwa pada akhir-akhir zaman penjajahan kompeni, bukan tombak beracun dan peluru yang banyak berperan melawan kompeni, tapi pena dan kertas lah yang membuat kompeni kehilangan nyali.
"Ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah"
"menulis adalah bekerja untuk keabadian" kata si gadis Jepara seperti dikutip oleh Tuan Pangemanann
Raden Mas Minke memiliki nama asli T.A.S (alias Tirto Adi Suryo yang didaulat sebagai bapak pers nasional). Minke sendiri merupakan pelesetan dari kata Monkey. Roman ini menceritakan bagaimana Minke bertemu dan belajar dari banyak orang, ia belajar dari Nyai Ontosoroh, yang merupakan gundiknya Tuan Millema. Nyai Ontosoroh yang dipicu oleh amarah karena 'dijual' oleh ayahnya di masa sangat belia berhasil menunjukkan bahwa wanita jawa bukan hanya sekedar hiasan dan pemuas nafsu pria belaka. Minke pun jatuh cinta dengan anak Nyai Ontosoroh, Annalies Millema, si bunga akhir zaman. Kisah romansa yang berakhir dengan kepedihan, karena Annalies 'dipaksa' pergi ke Belanda dan akhirnya menutup ajalnya di sana.
Berpisah dengan Annalies Minke pindah ke Betawi untuk sekolah kedokteran, saat mulai bersekolah ia diminta untuk melepas sepatu yang katanya adalah pakaian Eropa! Dokter Jawa tidak diperkenankan memakai sepatu. Saat bersekolah itu pula Minke bertemu dengan seorang keturunan tionghoa bernama Ang San Mei, yang kurus kering dan merupakan seorang imigran gelap. Minke sendiri tidak yakin bahwa Ang San Mei adalah nama aslinya, tapi ia tetap menikahinya. Lagi-lagi Minke harus berpisah dengan wanita kekasihnya. Ang San Mei meninggal dalam sakit dan berpesan agar Minke menjadi dokter. Namun, pada akhirnya Minke berhenti dari sekolah kedokteran dan mulai menerbitkan koran Medan.
Medan menjadi terkenal karena Medan merupakan koran pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Keputusan Minke memilih melayu banyak dipertanyakan. Tapi Minke tetap yakin, karena Hindia bukan hanya Jawa katanya. Medan yang semakin berkembang diiringi pula dengan perkembangan organisasi, Minke pun turut mendirikan Syarikat, dan menikah lagi dengan Prinses Kasiruta. Seorang wanita yang ternyata berani menarik pelatuk ke arah musuh-musuh Minke.
Gerakan Minke yang kelewat berani membuat Gubermen memerintahkan Pangemanan (yang setelah belajar di Prancis menambahkan satu huruf n di belakang namanya, agar dapat diucapkan dengan mudah oleh orang-orang Prancis) untuk menangkap Minke. Pangemanann terkejut dengan perintah itu, ia sendiri adalah penganggum Minke, tapi ia lebih takut kehilangan kedudukan. Jadi lah ia si pengkhianat hati nuraninya sendiri.
Namun, setelah ditangkapnya Minke, Pangemanann terus dihadapi orang-orang yang menimbulkan gejolak pada gubermen, seperti Siti Soendari. Seorang wanita yang dibesarkan oleh ayahandanya seorang, berjuang dengan caranya sendiri, dan hampir-hampir berakhir nasibnya seperti si gadis Jepara.
Setelah Minke kembali dari tempat pembuangannya di Ambon, Pangemanann tetap bertugas mengawasinya bahkan sampai akhir hayatnya. Pangemanann menjadi saksi bagaimana sang guru tetap terpenjara dalam kemerdekaannya. Tapi Minke juga lah yang menyadarkannya kalau batinnya sendiri yang terpenjara karena ia lebih memilih menyelamatkan jabatannya daripada tanah airnya.
Tetralogi ini merupakan salah satu roman sejarah yang paling menggugah. Roman ini juga mengajarkan banyak hal, dari sini kita belajar bahwa pada akhir-akhir zaman penjajahan kompeni, bukan tombak beracun dan peluru yang banyak berperan melawan kompeni, tapi pena dan kertas lah yang membuat kompeni kehilangan nyali.
"Ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah"
"menulis adalah bekerja untuk keabadian" kata si gadis Jepara seperti dikutip oleh Tuan Pangemanann
Kutipan terakhir itu terkenal banget, tapi atas nama pram. Baru gw tau sekarang bahwa tokoh di novelnya yang bilang begitu. Malu gw belum baca tetralogi buru. Hehe
ReplyDeleteAyo baca, ceritanya bagus, dan banyak kutipan/cerita yg pernah dengar sebelumnya ternyata ada di tetralogi ini.
Delete