Di buku ketiga dari tetralogi Bumi dari Tere Liye ini menceritakan petualangan Raib, Seli dan Ali ke Klan Bintang. Karena telah berjanji untuk tidak membuka portal ke dimensi lain melalui Buku Kehidupan, petualangan mereka kali ini menggunakan kapsul canggih buatan si genius Ali menempuh lorong-lorong kuno yang ditemukan Ali berdasarkan informasi di buku-buku digital yang ia dapatkan dari Klan Bulan.
Setelah mengarungi perjalanan yang tidak mudah, tiga sekawan ini akhirnya berhasil sampai ke Klan Bintang. Tidak seperti Klan Bumi, Bulan, dan Matahari yang tinggal di permukaan, meskipun di dimensi yang berbeda, Klan Bintang tinggal di perut bumi.
Di Klan Bintang, mereka bertemu dengan Faar si pewaris kekuatan bulan, Kaar si koki yang memiliki kekuatan petir, dan juga Meer sang penemu. Di sana mereka dibuat takjub akan hal-hal unik seperti misalnya segala sesuatu yang simetris termasuk nama-nama orang dan kota. Klan Bintang juga memiliki teknologi tingkat tinggi, misalnya saja bubur ilusi yang ketika dimakan rasanya sesuai dengan makanan yang dibayangkan. "Kita yang biasa makan beraneka macam makanan tentunya bisa menikmati bubur ini dengan berbagai rasa, tapi bagaimana dengan mereka yang sejak kecil hanya makan bubur ini? apa rasanya ya?" celetukan Ali yang menimbulkan pertanyaan: kemajuan teknologi memang membuat hidup manusia lebih mudah tapi apakah kita menjadi lebih bahagia? Bahkan Meer sang penemu pun akhirnya mengasingkan diri ke tempat di mana ia bisa bebas berburu dan menikmati alam, karena 'lelah' dengan segala teknologi yang ada.
Namun, tujuan mereka yang awalnya untuk mempelajari pengetahuan dari Klan Bintang harus berbalik setelah sekretaris dewan kota mencuri Buku Kehidupan. Raib, Seli, dan Ali pun dengan dibantu oleh Faar dan Kaar berusaha mengambil kembali Buku Kehidupan tersebut. Naas, mereka tertangkap dan disekap di dalam kubus-kubus penjara di atas magma dengan keamanan tingkat tinggi. Ketika mereka berhasil meloloskan diri dan berniat pulang, Sekretaris Dewan Kota memberitahukan kenyataan yang membuat petualangan mereka tidak berakhir sampai di sini.
Petualangan yang tidak kalah seru dengan buku pertama, Bumi, dan buku kedua, Bulan. Di buku ini Raib dan Seli terus melatih kekuatannya, sedangkan Ali tidak berhenti meneliti dan belajar bahkan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai objek penelitian.
Meskipun saya kurang suka dengan gaya tulisan Tere Liye ditambah salah satu cara mereka berpindah yang menggunakan bubuk pasir dari satu perapian ke perapian lain, yang terasa sangat "Harry Potter." Namun, cerita ini tetap menarik untuk dibaca apalagi tidak banyak novel remaja Indonesia yang mengangkat genre fantasi dengan dunia imajinasi.
Setelah mengarungi perjalanan yang tidak mudah, tiga sekawan ini akhirnya berhasil sampai ke Klan Bintang. Tidak seperti Klan Bumi, Bulan, dan Matahari yang tinggal di permukaan, meskipun di dimensi yang berbeda, Klan Bintang tinggal di perut bumi.
Di Klan Bintang, mereka bertemu dengan Faar si pewaris kekuatan bulan, Kaar si koki yang memiliki kekuatan petir, dan juga Meer sang penemu. Di sana mereka dibuat takjub akan hal-hal unik seperti misalnya segala sesuatu yang simetris termasuk nama-nama orang dan kota. Klan Bintang juga memiliki teknologi tingkat tinggi, misalnya saja bubur ilusi yang ketika dimakan rasanya sesuai dengan makanan yang dibayangkan. "Kita yang biasa makan beraneka macam makanan tentunya bisa menikmati bubur ini dengan berbagai rasa, tapi bagaimana dengan mereka yang sejak kecil hanya makan bubur ini? apa rasanya ya?" celetukan Ali yang menimbulkan pertanyaan: kemajuan teknologi memang membuat hidup manusia lebih mudah tapi apakah kita menjadi lebih bahagia? Bahkan Meer sang penemu pun akhirnya mengasingkan diri ke tempat di mana ia bisa bebas berburu dan menikmati alam, karena 'lelah' dengan segala teknologi yang ada.
Namun, tujuan mereka yang awalnya untuk mempelajari pengetahuan dari Klan Bintang harus berbalik setelah sekretaris dewan kota mencuri Buku Kehidupan. Raib, Seli, dan Ali pun dengan dibantu oleh Faar dan Kaar berusaha mengambil kembali Buku Kehidupan tersebut. Naas, mereka tertangkap dan disekap di dalam kubus-kubus penjara di atas magma dengan keamanan tingkat tinggi. Ketika mereka berhasil meloloskan diri dan berniat pulang, Sekretaris Dewan Kota memberitahukan kenyataan yang membuat petualangan mereka tidak berakhir sampai di sini.
Petualangan yang tidak kalah seru dengan buku pertama, Bumi, dan buku kedua, Bulan. Di buku ini Raib dan Seli terus melatih kekuatannya, sedangkan Ali tidak berhenti meneliti dan belajar bahkan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai objek penelitian.
Meskipun saya kurang suka dengan gaya tulisan Tere Liye ditambah salah satu cara mereka berpindah yang menggunakan bubuk pasir dari satu perapian ke perapian lain, yang terasa sangat "Harry Potter." Namun, cerita ini tetap menarik untuk dibaca apalagi tidak banyak novel remaja Indonesia yang mengangkat genre fantasi dengan dunia imajinasi.
No comments:
Post a Comment