Desember 2011, saya berkesempatan untuk mengunjungi Tana Toraja, sebuah daerah yang penduduknya masih memegang teguh budayanya. Tana Toraja sendiri berarti tanah milik para raja. Untuk mencapai Tana Toraja, dapat menggunakan jalan darat dengan menaiki mobil ataupun bis, namun bagi mereka yang tidak terlalu suka perjalanan darat yang memakan waktu, ada pesawat kecil yang tebang dari Makassar langsung ke Toraja. Saya sendiri bersama rombongan lainnya memilih menggunakan transportasi darat. Memang melelahkan dan memakan waktu, tapi itulah seninya :D
Perjalanan yang panjang, playlist mp3 pun sudah beberapa kali berulang, saya dan rombongan mampir di salah satu rumah makan di pinggir jalan yang menyajikan makanan serba ikan. Sebenarnya rasa makanannya tidak istimewa, ikannya pun gosong karena terlalu lama dimasak, namun karena perut sudah lapar semua makanan yang dipesan ludes seketika. Satu hal yang unik di rumah makan ini adalah sambalnya. Unik karena biasanya saya membayangkan sambal itu berwarna merah cabai, atau hijau seperti sambalado ijo khas padang, tetapi sambal yang disajikan di rumah makan ini berwarna cokelat karena terbuat dari kacang. Rasanya seperti makan ikan tapi dengan bumbu pecel. Saat kami memesan sayur pun si pelayan rumah makan mengatakan hanya ada sayur bening. Mendengar sayur bening, saya langsung terbayang sayur bayam, ternyata yang disajikan berupa kuah santan hambar dengan irisan daun bawang.
Setelah perut terisi, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Toraja, saat sampai di Enrekang, kami pun mampir untuk menghirup udara segar di salah satu warung kopi sambil berfoto dan menikmati pemandangan gunung nona. Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di tempat tujuan: Tana Toraja.
Sesampainya di gerbang, saya tertarik melihat sebuah tulisan
Toraja adalah wilayah yang penduduknya mayoritas memiliki kepercayaan agama leluhur toraja, dan sebagian besar yang lain memiliki kepercayaan agama kristen, yang dipegang teguh penduduknya, bahkan dalam kamar hotel pun terdapat kitab Injil, belum pernah rasanya saya melihat ada kitab yang disediakan pengelola hotel di masing-masing kamar.
Karena hari mulai gelap, dan perut kembali bergejolak, kami pun mencoba mencari rumah makan. Sebenarnya banyak rumah makan di sekitar hotel, namun mayoritas tidak halal, sehingga kami tidak punya banyak pilihan, begitu menemukan rumah makan yang ada kata muslimnya, kami langsung masuk ke sana. O iya, bagi yang muslim pun sebaiknya jangan sembarangan membeli baso di pinggir jalan, karena dapat dipastikan itu adalah baso babi.
Esok harinya, kami memulai perjalanan menjelajah Toraja dan mengunjungi gua atau gunung batu yang merupakan makam penduduk Toraja, sekaligus objek utama yang dikunjungi wisatawan termasuk saya dan rombongan.
Di perjalanan menuju gua, kami melihat banyak rumah adat khas toraja atau tongkonan yang berjejer dengan indah dan apik. Tongkonan adalah rumah sekaligus tempat tinggal bagi mayat yang 'belum mati'. Masyarakat Toraja percaya bahwa seseorang yang meninggal belum benar-benar meninggal jika belum diadakan upacara adat. Anggota keluarga yang belum benar-benar meninggal itu tinggal bersama dengan keluarganya yang lain, selayaknya anggota yang belum meninggal. Selain tongkonan ada juga lumbung padi yang memiliki bentuk yang mirip dengan tongkonan. Perbedaan yang saya lihat adalah ukiran di tongkonan lebih banyak dan tongkonan dihiasi oleh tanduk-tanduk kerbau, yang jumlahnya menandakan status sosial masyarakat.
Di gerbang gua batu, tempat meletakkan mayat yang sudah diupacarakan, terlihat peti-peti mati dengan berbagai bentuk, ada yang berbentuk seperti rumah adat toraja, ada yang bentuknya menyerupai kerbau dan babi, ada pula yang berbentuk seperti peti mayat umat kristiani lengkap dengan lambang salib. Peti mayat berbentuk rumah adat menandakan kebangsawanan, sedangkan peti kerbau dan babi masing-msing merupakan peti untuk mayat laki-laki dan perempuan. Peti mayat tersebut diletakkan begitu saja di dalam dan dipinggir gua batu, tidak dikubur. Sebagian peti masih baru dan sebagian besar sudah lapuk dimakan usia hingga tengkorak dan tulang belulang berserakan. Selain peti mati dan tengkorak yang berserakan, di dinding-dinding gua diletakkan tao-tao atau boneka yang merefleksikan orang yang 'dikuburkan' di sana.
Menurut salah satu pembuat boneka, tao-tao yang dibuat sekarang ini lebih bagus dan lebih mirip dengan aslinya, karena kini ada foto yang membuat pengerjaan tao-tao dapat lebih mudah dan bisa dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Di dalam gua selain semakin banyak tulang belulang berserakan, juga banyak sampah botol bekas minuman kemasan, juga sisa makanan. Awalnya saya kira itu perbuatan wisatawan yang seenaknya membuang sampah sembarangan, ternyata kata salah seorang penduduk yang saya temui di sana itu adalah sisa-sisa sesajen. Mungkin tidak ya?sesajen menggunakan kemasan yang tidak mencemari lingkungan?
Langit sudah kembali gelap, Kete kesu, Lemo, Londa, pun sudah selesai kami kunjungi, saatnya kembali pulang.
Perjalanan yang panjang, playlist mp3 pun sudah beberapa kali berulang, saya dan rombongan mampir di salah satu rumah makan di pinggir jalan yang menyajikan makanan serba ikan. Sebenarnya rasa makanannya tidak istimewa, ikannya pun gosong karena terlalu lama dimasak, namun karena perut sudah lapar semua makanan yang dipesan ludes seketika. Satu hal yang unik di rumah makan ini adalah sambalnya. Unik karena biasanya saya membayangkan sambal itu berwarna merah cabai, atau hijau seperti sambalado ijo khas padang, tetapi sambal yang disajikan di rumah makan ini berwarna cokelat karena terbuat dari kacang. Rasanya seperti makan ikan tapi dengan bumbu pecel. Saat kami memesan sayur pun si pelayan rumah makan mengatakan hanya ada sayur bening. Mendengar sayur bening, saya langsung terbayang sayur bayam, ternyata yang disajikan berupa kuah santan hambar dengan irisan daun bawang.
Sambal kacang yang disajikan bersama ikan bakar |
Sesampainya di gerbang, saya tertarik melihat sebuah tulisan
"Misa' kada dipotuo pantan kada dipomate"yang menurut hasil searching si mbah Google kurang lebih artinya "bersatu kita teguh bercerai kita mati"
Toraja adalah wilayah yang penduduknya mayoritas memiliki kepercayaan agama leluhur toraja, dan sebagian besar yang lain memiliki kepercayaan agama kristen, yang dipegang teguh penduduknya, bahkan dalam kamar hotel pun terdapat kitab Injil, belum pernah rasanya saya melihat ada kitab yang disediakan pengelola hotel di masing-masing kamar.
Kios Bakso Babi dan warung makan halal yang berdampingan |
Esok harinya, kami memulai perjalanan menjelajah Toraja dan mengunjungi gua atau gunung batu yang merupakan makam penduduk Toraja, sekaligus objek utama yang dikunjungi wisatawan termasuk saya dan rombongan.
Di perjalanan menuju gua, kami melihat banyak rumah adat khas toraja atau tongkonan yang berjejer dengan indah dan apik. Tongkonan adalah rumah sekaligus tempat tinggal bagi mayat yang 'belum mati'. Masyarakat Toraja percaya bahwa seseorang yang meninggal belum benar-benar meninggal jika belum diadakan upacara adat. Anggota keluarga yang belum benar-benar meninggal itu tinggal bersama dengan keluarganya yang lain, selayaknya anggota yang belum meninggal. Selain tongkonan ada juga lumbung padi yang memiliki bentuk yang mirip dengan tongkonan. Perbedaan yang saya lihat adalah ukiran di tongkonan lebih banyak dan tongkonan dihiasi oleh tanduk-tanduk kerbau, yang jumlahnya menandakan status sosial masyarakat.
Di gerbang gua batu, tempat meletakkan mayat yang sudah diupacarakan, terlihat peti-peti mati dengan berbagai bentuk, ada yang berbentuk seperti rumah adat toraja, ada yang bentuknya menyerupai kerbau dan babi, ada pula yang berbentuk seperti peti mayat umat kristiani lengkap dengan lambang salib. Peti mayat berbentuk rumah adat menandakan kebangsawanan, sedangkan peti kerbau dan babi masing-msing merupakan peti untuk mayat laki-laki dan perempuan. Peti mayat tersebut diletakkan begitu saja di dalam dan dipinggir gua batu, tidak dikubur. Sebagian peti masih baru dan sebagian besar sudah lapuk dimakan usia hingga tengkorak dan tulang belulang berserakan. Selain peti mati dan tengkorak yang berserakan, di dinding-dinding gua diletakkan tao-tao atau boneka yang merefleksikan orang yang 'dikuburkan' di sana.
Tao-tao jaman dahulu, yang terlihat lebih mirip satu sama lain |
Di dalam gua selain semakin banyak tulang belulang berserakan, juga banyak sampah botol bekas minuman kemasan, juga sisa makanan. Awalnya saya kira itu perbuatan wisatawan yang seenaknya membuang sampah sembarangan, ternyata kata salah seorang penduduk yang saya temui di sana itu adalah sisa-sisa sesajen. Mungkin tidak ya?sesajen menggunakan kemasan yang tidak mencemari lingkungan?
Langit sudah kembali gelap, Kete kesu, Lemo, Londa, pun sudah selesai kami kunjungi, saatnya kembali pulang.
Cabe !!!
ReplyDeletecabe apaan?yg di toraja ya?haha maaf ya..gw liat tapi g beli :P
ReplyDelete