Beberapa waktu yang lalu saya dipinjamkan sebuah novel, yang berjudul Perahu Kertas. Novel yang galau katanya. Terlepas dari kegalauan ceritanya, saya tertarik pada tokoh utama novel tersebut. Kugy, seorang gadis yang suka berimajinasi. Saya menikmati karakter Kugy karena sifatnya yang suka berimajinasi.
Saya jadi teringat sewaktu kecil saya juga memiliki tokoh-tokoh dalam imajinasi saya. Imajinasi yang saya bagi berdua dengan adik saya. Dalam imajinasi saya berperan sebagai guru dari murid-murid yang penuh rasa ingin tahu dan juga penuh imajinasi. Saya bahkan membuat novel tentang mereka. Novel yang masih saya ingat garis besar ceritanya, namun sekarang entah berada dimana.
Banyak orang yang menganggap negeri dongeng hanya ada dalam bayang anak-anak. Kekanakan bagi mereka yang sudah dewasa namun masih tenggelam dalam negeri dongeng. Saya mengakui, seiring bertambahnya usia, bertambahnya teman, dan aktivitas yang memadat membuat saya perlahan-lahan tidak lagi berimajinasi bagai di negeri dongeng.
Saya jadi teringat, beberapa bulan yang lalu, saat saya sedang membaca komik tiba-tiba seorang teman berkata "kalau terus membaca komik, kapan dewasanya?"
Saya menatapnya, dia tertawa, saya terdiam.
Dalam benak saya berpikir
"dewasa itu apa?"
"apakah dewasa berarti harus meninggalkan dunia khayal?"
"apakah komik selalu identik dengan dunia yang kekanakan?"
"apakah membaca komik berarti tidak dewasa"
Bukankah banyak komik-komik yang beredar yang ditujukan untuk dewasa? dengan jalan cerita yang rumit, yang tidak mudah dimengerti anak-anak, sebut sajalah xxxHolic, death note, monster dan lain-lainnya.
Saya sendiri adalah seseorang yang sangat suka membaca komik. Bisa dibilang membaca komik adalah hobi saya, sejak masih berseragam putih merah. Saya pertama kali mengenal komik dari Bapak (ayah saya), yang juga seorang penggemar komik.
Bapak bercerita sejak dulu dia juga gemar membaca komik. Namun, dulu tidak banyak komik yang beredar seperti sekarang ini. Dulu Bapak hanya mengenal Ko Ping Ho, yang ia baca berebut dengan Jidah (Alm Nenek saya). Setiap kali edisi baru terbit mereka selalu berebut membacanya. Tampak kekanakan memang. Tapi saya melihat bahwa Bapak yang usianya sudah kepala lima tidak kehilangan kedewasaannya meskipun masih suka membaca komik.
Menjadi dewasa bagi saya bukan dilihat dari hobi dan kesukaan kita, tapi lebih dari sikap kita. Seorang anak kecil bisa saja bersikap lebih dewasa daripada orang dewasa itu sendiri. Anak kecil yang mengakui kesalahannya dan berani bertanggung jawab saya rasa lebih dewasa dibanding mereka yang secara usia sudah dewasa namun ketika bersalah tidak mau mengakuinya.
Usia terus bertambah, namun kedewasaan tergantung dari sikap kita.
Banyak orang yang menganggap negeri dongeng hanya ada dalam bayang anak-anak. Kekanakan bagi mereka yang sudah dewasa namun masih tenggelam dalam negeri dongeng. Saya mengakui, seiring bertambahnya usia, bertambahnya teman, dan aktivitas yang memadat membuat saya perlahan-lahan tidak lagi berimajinasi bagai di negeri dongeng.
Saya jadi teringat, beberapa bulan yang lalu, saat saya sedang membaca komik tiba-tiba seorang teman berkata "kalau terus membaca komik, kapan dewasanya?"
Saya menatapnya, dia tertawa, saya terdiam.
Dalam benak saya berpikir
"dewasa itu apa?"
"apakah dewasa berarti harus meninggalkan dunia khayal?"
"apakah komik selalu identik dengan dunia yang kekanakan?"
"apakah membaca komik berarti tidak dewasa"
Bukankah banyak komik-komik yang beredar yang ditujukan untuk dewasa? dengan jalan cerita yang rumit, yang tidak mudah dimengerti anak-anak, sebut sajalah xxxHolic, death note, monster dan lain-lainnya.
Saya sendiri adalah seseorang yang sangat suka membaca komik. Bisa dibilang membaca komik adalah hobi saya, sejak masih berseragam putih merah. Saya pertama kali mengenal komik dari Bapak (ayah saya), yang juga seorang penggemar komik.
Bapak bercerita sejak dulu dia juga gemar membaca komik. Namun, dulu tidak banyak komik yang beredar seperti sekarang ini. Dulu Bapak hanya mengenal Ko Ping Ho, yang ia baca berebut dengan Jidah (Alm Nenek saya). Setiap kali edisi baru terbit mereka selalu berebut membacanya. Tampak kekanakan memang. Tapi saya melihat bahwa Bapak yang usianya sudah kepala lima tidak kehilangan kedewasaannya meskipun masih suka membaca komik.
Menjadi dewasa bagi saya bukan dilihat dari hobi dan kesukaan kita, tapi lebih dari sikap kita. Seorang anak kecil bisa saja bersikap lebih dewasa daripada orang dewasa itu sendiri. Anak kecil yang mengakui kesalahannya dan berani bertanggung jawab saya rasa lebih dewasa dibanding mereka yang secara usia sudah dewasa namun ketika bersalah tidak mau mengakuinya.
Usia terus bertambah, namun kedewasaan tergantung dari sikap kita.
gw juga baca tuh buku..... gw suka ludhe.... ikhlas bet dah. menginspirasi.... buat apa menjadi dewasa kalo ngga nyaman. be your self ajalah gw mah
ReplyDelete